Minggu, 11 September 2011

Ketika Cinta Sulit Dimengerti

Huh! Laki-laki memang tak pernah bisa mengerti apa maunya perempuan! Tak terkecuali Dia, lelaki yang hampir dua tahun ini menjalin kasih denganku. Bayangkan saja, sudah hampir dua tahun lamanya kami bersama, dia tetap tidak mengerti isyarat-isyarat yang sengaja aku berikan padanya. Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Itu kan berarti hampir 24 bulan alias 1.230 hari.

Contohnya saja sore ini, di mana sudah seharian aku cemas menunggu kabar darinya. Sudah berpuluh kali aku meneleponnya tapi ponselnya tak kunjung aktif. Beberapa SMS juga sudah kulayangkan, dari mulai yang romantis sampai yang isinya hampir sadis, tapi tak satupun dibalas. Terang saja aku panik dan cemas, pasalnya Dia sudah berjanji padaku kalau hari ini ia akan menemaniku nonton, tapi sampai sekarang kok tidak ada kabar sama sekali? Pikiranku sudah dipenuhi berbagai macam kemungkinan. Apa Dia masih tidur karena pusing akibat kehujanan waktu pulang dari rumahku kemarin? Atau, apa ponsel  Dia  kecopetan? Atau, jangan-jangan Dia lagi selingkuh sampai-sampai ponselnya sengaja dimatikan? Atau... ada yang tidak beres? Hii.., ngeri sendiri rasanya aku membayangkan yang tidak-tidak. 

Tiba-tiba saja, sekitar pukul 17.20, teleponku tersambung. Aku menanti dengan deg-degan. Begitu suara Dia yang berat terdengar di ujung sana, aku langsung membombardirnya dengan sejuta pertanyaan.

“Kamu di mana, sih? Adek tuh udah neleponin kamu seharian tapi enggak nyambung-nyambung. Adek kirim SMS kok enggak dibales-bales? Kamu tau enggak, Adek cemas banget?! Adek sampe enggak bisa ngapa-ngapain seharian gara-gara nungguin Kamu. Kan katanya Kamu mau nemenin Adek nonton, gimana sih?!”

Aku terdiam, mengambil napas. Sesaat, tak terdengar respon dari ujung sana. Malahan, tiba-tiba saja aku mendengar suara Dia yang sedang asyik ngobrol dengan seorang laki-laki.

“...Itu velg-nya udah rapi, kan?”
“Oh, tenang aja, Mas.”

Aku bengong. Aku panggil-panggil namanya.
“Iya, Dek?” suara Dia kembali terdengar.
“Kamu lagi ngapain, sih?”
“Bentar, bentar, Dek, Aku lagi di bengkel, nih, ganti velg. Bentar ya....”

Dan Dia pun kembali ngobrol dengan tukang velg itu. Dan aku, pacarnya selama dua tahun ini, dicuekin begitu aja!
“Glek! Berarti dari tadi aku ngomong panjang lebar sama sekali enggak didengerin sama Dia? Arrrgggghhhh!,” makiku dalam hati.

Setelah beberapa lama, suara Dia kembali terdengar. “Kenapa, Dek?”
Aku sungguh heran dengan sikap santai yang jelas-jelas tercermin di dalam suara Dia.
“Dari tadi Adek telepon kok enggak nyambung-nyambung?,” serangku.

“Duh, maaf, Dek, tadi HP nya ketinggalan. Ini juga baru aja disusulin sama Raffi,” katanya, masih dengan ketenangan tingkat tinggi yang membuatku semakin kesal.

“Terus, kenapa SMS Adek enggak dibalas?”

“Maaf, Dek, Aku lupa isi pulsa,” katanya.

“Apa????? Lupa isi pulsa? Enggak tau apa orang cemas setengah mati dari tadi?,” batinku.

“Kenapa enggak minjem HP Raffi untuk SMS? Atau, Kamu kan bisa cari wartel atau telepon umum untuk ngabarin Adek?,” tanyaku

Dia tergelak, “Sorry, Dek, enggak kepikiran!”

Aku melengos kesal. “Kamu lupa ya kalo hari ini Kamu janji mau nemenin Adek nonton?,” rajukku.

“Maaf, Dek, Aku bukannya lupa. Tapi tiba-tiba mobilnya ngadat, makanya Aku   ke bengkel.”

“Lho, tadi katanya ganti velg, sekarang bilangnya mobilnya ngadat. Yang mana yang bener, sih?,” suaraku semakin meninggi.

“Ya tadi mesinnya ngadat. Terus, karena udah di bengkel, ya Aku sekalian ganti velg aja.”

Aku langsung cemberut.

“Nontonnya besok aja, ya, Dek, kan bisa sekalian nomat!,” bujuknya.

“Tapi besok kan Adek ke studio. Mana bisa enak-enakan nomat.”

“Ya udah, begitu kamu selese, Aku jemput deh ke Studio. Terus, dari sana kita nonton, oke?”

Dan begitulah, acara kencan kami pun gagal cuma gara-gara Dia ke bengkel demi memperbaiki mobilnya yang ngadat dan sekalian mengganti velg-nya.

Kadang-kadang aku merasa aneh juga. Masa sih aku harus cemburu dengan kecintaan Dia pada mobilnya atau pada kesenangannya naik gunung. Tapi, wajar kan kalau aku cemburu, aku ini kan pacarnya? Pacar yang hampir dua tahun ini menemaninya, berbagi suka dan duka bersama. Pacar yang punya perasaan dan seharusnya lebih membutuhkan perhatian nya  ketimbang mobil dan hobi naik gunungnya. Ya, laki-laki memang sulit mengerti apa maunya perempuan!

Keesokan harinya, aku berangkat ke studio dengan ceria. Malahan aku sengaja berdandan karena aku tahu, setelah itu aku akan nonton bersama Dia. Tapi ternyata, lagi-lagi aku kecewa. Mobil Dia tak terlihat di didepan Studio! Aku pun segera menelepon Dia.

“Di mana?”

“Di rumah,” jawabnya cuek.

Jleb!! Rasanya ada sebilah pisau yang menusuk dadaku saat itu juga. Sementara aku sudah berdandan habis dan menanti-nanti acara kencan dengannya, Dia malah kelupaan dengan janjinya menjemputku di Studio!

“Kamu tuh udah mulai pikun atau udah enggak sayang lagi, sih, sama Adek?,” semprotku langsung begitu aku duduk di jok depan mobilnya, satu jam kemudian. Terik siang dan rasa kesal telah membuat dandananku berantakan. Tapi aku sudah tak peduli. Niat untuk kencan dengannya sudah meluap pergi entah ke mana.

“Maaf, Dek. Aku tadi ketiduran. Kamu sih enggak bangunin Aku,” katanya ngeles.
“Bangunin gimana? Aku kan lagi siaran !! Mana bisa seenaknya nelepon Kamu?”

Dia tertawa kecil, “Oh iya, ya? Maaf, deh”

Aku semakin sebal. “Jadi sekarang Adek yang salah?!”

dia memandangku sambil menahan tawa. “Kamu kalau marah semakin cantik, deh!,” godanya.

“Iiih, udah tau orang ngambek, masih aja dibecandain!,” pikirku kesal. Aku hanya cemberut, tidak merespon.

“Ya udah, kita nonton di mana sekarang?,” tanyanya.

“Enggak usah!,” bentakku, “Adek udah enggak mood nonton sama Kamu!”

“Mana bisa?,” kata Dia, “Bisa-bisa Aku diputusin sama kamu karena enggak nepatin janji ngajakin kamu nomat hari ini.”

Aku tak menjawab. Malas. Aku hanya bisa memperhatikan jalanan sementara mobilnya terus melaju menuju 21.

“Udah nyampe, Dek,” kata Dia sambil mematikan mesin. Ia menarik bahuku hingga aku menghadap ke arahnya tepat sebelum aku sempat menghapus air mata yang tak bisa lagi aku bendung di pelupuk mataku. Sempat kulihat ekspresi kagetnya melihat air mataku. Namun aku tak peduli. Aku segera memalingkan wajah, berpura-pura tegar.

“Kamu nangis, Dek?” Dia kembali memutar tubuhku.

“Enggak!,” aku kembali berbalik.
Dia memutar tubuhku dengan lembut dan mematri bahuku dengan kedua lengan kekarnya, agar aku tak dapat menghindar lagi. “Coba Aku liat. Kok Adek Ku yang cantik nangis, sih? Dandanannya luntur, tuh!,” candanya.

Bukannya tertawa, aku malah menangis semakin menjadi. “Kamu tuh beneran udah enggak sayang, ya, sama Adek?”

Dia nampak kaget, namun terus berusaha tenang, “Kok Adek ngomongnya gitu sih?”

“Abis Kamu tuh enggak pernah ngertiin Adek. Adek tuh rasanya udah enggak pernah diperhatiin lagi sama Kamu. Kamu udah enggak nganggap Adek istimewa lagi. Enggak kayak dulu pas awal kita pacaran, Kamu sekarang suka lupa sama janji Kamu ke Adek. Kamu lebih milih ke bengkel atau naik gunung daripada berduaan dengan Adek! Kamu tuh lupa, ya, minggu lalu tuh kita enggak ketemuan karena Kamu naik gunung sama temen-temen Kamu?! Makanya kemarin Adek ngajakin Kamu nonton, biar kita bisa ketemuan. Eh, Kamu malah lebih milih ke bengkel daripada ketemu sama Adek! Adek sebel! Kamu udah enggak sayang lagi sama Adek!,” cerocosku panjang lebar.

Dia memperhatikanku dengan ekspresi shock. Mungkin Dia tak menyangka kalau masalahnya ternyata serumit itu. Tapi, biarlah, daripada aku memendam sendiri semua kekesalanku, lebih baik aku tumpahkan saja semuanya.

Beberapa saat lamanya, Dia tidak merespon. Dia mengusap air mata di pipiku dengan lembut dan tersenyum.

“Adek enggak boleh bilang kayak gitu. Aku tuh sayang banget sama Adek! Aku  mau ikut temen-temenku naik gunung minggu lalu karena Aku mau ngasihin ini sama kamu,” katanya sambil mengambil sebuket bunga edelweiss di jok belakang mobil. Aku tersentak kaget.

“Adek lupa, ya, kalau Adek pernah nitip bunga edelweiss kalau Aku  naik gunung? Kan Adek sendiri yang bilang, kalau bunga edelweiss ini melambangkan cinta yang abadi. Soal kemarin, Aku juga sebenernya sengaja menunda waktu ketemuan kita sampai hari ini biar bisa ngasihin bunga edelweiss ini ke Adek tepat di hari jadi kita yang kedua tahun. Aku juga sengaja ngebetulin mobil karena Aku enggak mau waktu Aku jalan sama Adek, mobil ini ngadat di tengah jalan. Aku mau hari ini jadi hari yang istimewa, karena hari ini genap dua tahun sudah Adek jadi pacarku, jadi sahabatku yang paling baik, yang paling mengerti Aku.”

Aku tercenung. Jadi, hari ini...? Ya Tuhan, saking kesalnya akan tingkah laku Dia, aku sampai lupa kalau hari ini adalah hari jadi kami yang kedua tahun! Hari ke-1.230 dalam hubungan kami yang begitu berharga ini. Perasaanku campur aduk, rasanya. Aku tak bisa berkata-kata. Yang bisa kulakukan hanyalah menangis.

“Yah, Dek, kok malah nangis lagi?,” tanyanya panik. “Adek enggak suka, ya, sama bunga edelweiss-nya?”

Aku tertawa geli. Ternyata, setelah dua tahun kebersamaan kami, Dia masih belum bisa mengerti apa mauku. Dia masih kurang memahami isyarat-isyarat yang sengaja kuberikan padanya. Tapi, tak apalah. Selama Dia menyayangiku, aku toh akan tetap mencoba memahaminya dan membuat ia memahami diriku.






3 komentar:

  1. Yaa Allah, jadi inget masa laluku...

    BalasHapus
  2. Teh, apakah cerita di blog ini semuanya diambil dari gelaran Carita yang pernah Teteh bawakan di TRISARA dulu?

    BalasHapus
  3. Nyimak teh opi....coba tambah bg music gelaran cerita

    BalasHapus