Rabu, 29 Juni 2011

Mandikan Aku Bunda

Dewi adalah sahabatku, seorang mahasiswi yang berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not to be the best?,” begitu ucapan yang kerap kali terdengar dari mulutnya, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.
Ketika kampus mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht-Belanda, Dewi termasuk salah satunya.
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Dewi mendapat pendamping hidup yang “selevel”, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Tak lama berselang lahirlah Bayu, buah cinta mereka, anak pertamanya tersebut lahir ketika Dewi diangkat manjadi staf diplomat, bertepatan dengan suaminya meraih PhD. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan mereka.
Ketika Bayu, berusia 6 bulan, kesibukan Dewi semakin menggila. Bak seekor burung garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Sebagai seorang sahabat setulusnya saya pernah bertanya padanya, “Tidakkah si Bayu masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal oleh ibundanya?” Dengan sigap Dewi menjawab, “Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya dengan sempurna”. “Everything is OK! Don’t worry. Everything is under control kok!” begitulah selalu ucapannya, penuh percaya diri.
Ucapannya itu memang betul-betul ia buktikan. Perawatan anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter termahal. Dewi tinggal mengontrol jadwal Bayu lewat telepon. Pada akhirnya Bayu tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas mandiri dan mudah mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang betapa hebatnya ibu-bapaknya. Tentang gelar Phd dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang berlimpah. “Contohlah ayah-bundamu Bayu, kalau Bayu besar nanti jadilah seperti Bunda”. Begitu selalu nenek Bayu, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Bayu berusia 5 tahun, neneknya menyampaikan kepada Dewi kalau Bayu minta seorang adik untuk bisa menjadi teman bermainnya di rumah apabila ia merasa kesepian.
Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Dewi dan suaminya kembali meminta pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Bayu. Lagi-lagi bocah kecil inipun mau ”memahami” orangtuanya.
Dengan bangga Dewi mengatakan bahwa kamu memang anak hebat, buktinya, kata Dewi, kamu tak lagi merengek minta adik. Bayu, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek dan sangat mandiri. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Bahkan, tutur Dewi pada saya, Bayu selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Dewi sering memanggilnya malaikat kecilku. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, namun Bayu tetap tumbuh dengan penuh cinta dari orang tuanya. Diam-diam, saya jadi sangat iri pada keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Dewi berangkat ke kantor, entah mengapa Bayu menolak dimandikan oleh baby sitternya. Bayu ingin pagi ini dimandikan oleh Bundanya,”Bunda aku ingin mandi sama bunda…please…please bunda”, pinta Bayu dengan mengiba-iba penuh harap.
Karuan saja Dewi, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan merasa gusar dengan permintaan anaknya. Ia dengan tegas menolak permintaan Bayu, sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Bayu agar mau mandi dengan baby sitternya. Lagi-lagi, Bayu dengan penuh pengertian mau menurutinya, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini terus berulang sampai hampir sepekan. “Bunda, mandikan aku!” Ayo dong bunda mandikan aku sekali ini saja…?” kian lama suara Bayu semakin penuh tekanan. Tapi toh, Dewi dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Bayu sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Bayu bisa ditinggal juga dan mandi bersama Mbanya.
Sampai suatu sore, Dewi dikejutkan oleh telpon dari sang baby sitter, “Bu, hari ini Bayu panas tinggi dan kejang-kejang. Sekarang sedang di periksa di ruang emergency”.
Ketika diberitahu soal Bayu, Dewi sedang meresmikan kantor barunya di Medan. Setelah tiba di Jakarta, Dewi langsung ngebut ke UGD. Tapi sayang…terlambat sudah…Tuhan sudah punya rencana lain. Bayu, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh Tuhannya. Terlihat Dewi mengalami shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah untuk memandikan putranya, setelah bebarapa hari lalu Bayu mulai menuntut ia untuk memandikannya, Dewi pernah berjanji pada anaknya untuk suatu saat memandikannya sendiri jika ia tidak sedang ada urusan yang sangat penting. Dan siang itu, janji Dewi akhirnya terpenuhi juga, meskipun setelah tubuh si kecil terbujur kaku.
Ditengah para tetangga yang sedang melayat, terdengar suara Dewi dengan nada yang bergetar berkata “Ini Bunda Nak….hari ini Bunda mandikan Bayu ya…sayang….! akhirnya Bunda penuhi juga janji Bunda ya Nak..”
Lalu segera saja satu demi satu orang-orang yang melayat dan berada di dekatnya tersebut berusaha untuk menyingkir dari sampingnya, sambil tak kuasa untuk menahan tangis mereka.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, para pengiring jenazah masih berdiri mematung di sisi pusara sang Malaikat Kecil.
Berkali-kali Dewi, sahabatku yang tegar itu, berkata kepada rekan-rekan disekitanya, “Inikan sudah takdir, ya kan..!” Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya di panggil, ya dia pergi juga, iya kan?”
Saya yang saat itu tepat berada di sampingnya diam saja. Seolah-olah Dewi tak merasa berduka dengan kepergian anaknya dan sepertinya ia juga tidak perlu hiburan dari orang lain.
Sementara di sebelah kanannya, suaminya berdiri mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pucat pasi dengan bibir bergetar tak kuasa menahan air mata yang mulai meleleh membasahi pipinya.
Sambil menatap pusara anaknya, terdengar lagi suara Dewi berujar, “Inilah konsekuensi sebuah pilihan!” lanjut Dewi, tetap mencoba untuk tegar dan kuat.
Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja yang menusuk hidung hingga ke tulang sumsum. Tak lama setelah itu tanpa diduga-duga tiba-tiba saja Dewi jatuh berlutut, lalu membantingkan dirinya ke tanah tepat diatas pusara anaknya sambil berteriak-teriak histeris. “Bayu maafkan Bunda ya sayaang..!!, ampuni bundamu ya nak…? serunya berulang-ulang sambil membenturkan kepalanya ketanah, dan segera terdengar tangis yang meledak-ledak dengan penuh berurai air mata membanjiri tanah pusara putra tercintanya yang kini telah pergi untuk selama-lamanya.
Sepanjang saya mengenalnya, rasanya baru kali ini saya menyaksikan Dewi menangis dengan histeris seperti ini.
Lalu terdengar lagi Dewi berteriak-teriak histeris “Bangunlah Bayu sayaaangku….bangun Bayu cintaku, ayo bangun nak…..?!?” pintanya berulang-ulang, “Bunda mau mandikan kamu sayang….tolong beri kesempatan Bunda sekali saja Nak….sekali ini saja, Bayu..anakku…?” Dewi merintih mengiba-iba sambil kembali membenturkan kepalanya berkali-kali ke tanah lalu ia peluki dan ciumi pusara anaknya bak orang yang sudah hilang ingatan. Air matanya mengalir semakin deras membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Bayu.
Senja semakin senyap, aroma bunga kamboja semakin tercium kuat menusuk hidung membuat seluruh bulu kuduk kami berdiri menyaksikan peristiwa yang menyayat hati ini…tapi apa hendak di kata, nasi sudah menjadi bubur, sesal kemudian tak berguna. Bayu tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya dimandikan oleh orang tuanya, karena mereka merasa bahwa banyak hal yang jauh lebih penting daripada hanya sekedar memandikan seorang anak.
(Kisah nyata, dari rekan blogger)

Selasa, 28 Juni 2011

Aku dan Malaikat putih

Tidak ada seorangpun yang menginginkan kekurangan di dalam dirinya, meski kesempurnaan juga mustahil dimiliki seseorang. Temanku bukan cowok kasar apalagi tempramental. Bahkan sebaliknya, dia punya senyum yang setiap orang berhak mendapatkannya. Dia tidak segan mengulurkan bantuan untuk siapapun yang membutuhkannya. Tapi keberadaannya sering tidak di harapkan dilingkungannnya. Lalu apa yang kurang didalam dirinya? Pigmen, itu jawabannya. Dia lahir sebagai manusia albino, rambut dan kulitnya memutih tak wajar. Keadaan seperti itu membuatnya tak bisa pilih pilih teman, terlebih lagi pacar. Dia pernah menitikan air mata ketika menyaksikan video klip lagu Chrisye "Seperti Yang Kau Minta" yang bercerita tentang seorang cowok albino mendambakan seorang cewek yang diidamkannya. Dia tau pasti, apa akhir dari yang didambakannya, Luka!.

Suatu ketika dia mencari alamat teman di sebuah perkampungan, seperti biasa dia menjadi pusat perhatian orang. Anak-anak langsung mengerumuni dia sambil bernyanyi "Bule masuk kampung...Bule masuk kampung...!" "ini bule apa habis nyebur ke air mendidih sih?, kok bulu mata ikut memutih?". Dia berusaha tersenyum meski dibalik dadanya dia merasakan luka yang lumayan sakit.

Aku adalah teman satu kelasnya, kadang aku merasa kesal dengan sikap teman-temanku yang memandang sebelah mata terhadapnya. Apa mereka berfikir dia tidak punya hati, ketika mereka berkata-kata pedas terhadapnya. Apakah dia yang memilih menjadi seperti ini? bahkan dia harus kesulitan melihat tulisan dipapan tulis karena keterbatasan matanya. aah...andai waktu itu aku bisa membelikannya kacamata untuknya, tapi aku hanya mampu menukar posisi tempat dudukku untuknya. Agar dia bisa duduk lebih depan dan bisa melihat tulisan dengan sedikit jelas.

Didalam hidupku mengenal seorang albino adalah hal yang biasa. Jauh ketika aku masih kecil aku sudah mengenal seorang anak albino. Bahkan ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar aku sudah memahami karakter, kekurangan, dan perasaan menjadi seorang seperti dia. Teman kecilku selalu di pingit oleh kedua orangtuanya hanya karena tidak mau anaknya di olok-olok orang. Aku pernah membawanya pergi dan mengajaknya main kerumahku. Dia kuberi rangginang, sejenis makanan terbuat dari ketan hitam, dia      tanya ini makanan apa, aku jawab ini tai tikus karena bentuknya memang mirip. Kupaksa dia makan walau dia berontak tak mau, ketika dia kunyah rasanya enak dan dia tersenyum..... sampai dirumah dia cerita sama mamahnya kalo dirumahku dia dikasi kotoran tikus heheheh....

Andai saja didunia ini manusia tidak melihat cantik, ganteng, warna kulit. Pasti persahabatan itu indah. Ketika ku dengar dari mulutnya, dia tidak pernah mengaharap semua kebaikannya dibalas, tetapi begitu kejamkah perlakuan makhluk di dunia terhadapnya. Ketika dia habis mengeluarkan uang SPP nya demi seorang teman yang sakit untuk berobat, dan diperjalanan pulang tiba-tiba seorang pengemis menyebrang. Dia telah berusaha menghindar, dan pengemis itupun selamat, tapi motornya terpuruk ke bahu jalan dan menimpa palang besi. Pengimis yang tadi diselamatkannya datang menghampirinya, ternyata datang bukan untuk menolongnya tapi untuk mengambil dompet dan ponselnya. Dia hanya memandangi tubuhnya yang berlumuran darah tanpa bisa berbuat apa-apa. Jiwanya menangis ketika selama dua hari dirumah sakit tak ada satupun yang membesuknya, kemanakah orang-orang yang selama ini dia tolong. Aku ikut menahan tangis dan ikut merasakan luka dihatinya. Untunglah aku bukan bagian dari orang-orang yang ada diceritanya, karena sampai saat ini aku masih disampingnya untuk mendengarkan cerita-ceritanya dan mendukungnya sebagai sahabatnya. 

Senin, 13 Juni 2011

Malam

Waktu itu aku hendak berkunjung ke rumah kakaku, tapi malam itu suasana sepi sekali, aku sedikit merinding kalau harus menembus malam yang sepi dan gelap gulita sendirian, maklum  jaraknya lumayan jauh untuk sampai ke rumah kakaku. Jadi kuputuskan untuk tetap diam diwarung sampai ada orang yang hendak melintas kejalan yang sama. Nasibku memang tengah beruntung, tak lama kemudian ada seorang lelaki paruh baya melintas,  wajahnya tidak asing lagi buatku dia adalah tetangga kakaku juga. Tanpa ragu aku berjalan mengiringi langkahnya. Dia menyapaku dan bertanya bagaimana keadaanku, maklumlah aku tinggal diluar kota dan bila aku ada waktu sebulan atau dua bulan sekali aku mengunjungi kakaku di kampung. Di perjalanan yang cukup jauh melewati perkebunan dia sempat menasehatiku agar aku selalu mawas diri dan berhati-hati bergaul apalagi aku tinggal sendiri dikota. Ketika aku melintasi sebuah pohon durian yang besar entah kenapa kulihat semua daunnya layu, layu dan layu, seolah daunnya tertidur...apa perasaanku saja yah?. Di dipertigaan dia pamit untuk menuju arah sebelah kanan, aku tidak sempat bertanya kenapa dia kearah situ bukankah rumahnya dekat dengan rumah kakaku? tapi ya sudahlah toh rumah kakaku sudah hampir sampai.

Ketika sampai didepan rumah kakaku kuketuk pintu, dan kakaku sendiri yang membukakannya, dia sempat kaget melihat aku datang tengah malam, sedikit marah dia bilang lain kali kalau mau datang siang-siang saja kalau sampe kemalaman mending gak usah ditunda saja esok datangnya, begitu katanya. Sambil minum teh hangat buatan kakaku aku bilang kalau aku gak sendiri kebetulan aku pulang bareng dengan Bapak X, belumlah selesai aku cerita kaka dan iparku mukanya pucat, dan sambil kaget dia tanyakan lagi dengan siapa aku pulang, lalu aku jawab lagi, dan lagi-lagi mereka kaget. Ketika ku paksa bertanya kenapa, mereka bilang sudah tidur saja istirahat, besok saja dilanjut ceritanya.

Paginya ketika sarapan kakaku bercerita kalau baru beberapa hari lalu Bapak X yang berjalan denganku tengah malam sudah meninggal karena bunuh diri, sebelum mengakhiri hidupnya dia datang kerumah kakaku   berkeluh kesah kalo dia berselingkuh dengan seorang wanita dan wanita itu hamil, dan memintanya untuk bertanggung jawab, dia sendiri tak kuasa kalau sampai anak dan istrinya tau, buat dia ini adalah suatu tekanan yang berat. Selang sehari dia curhat dengan kakaku dia ditemukan gantung diri di pohon durian, kakaku bertanya "kamu taukan pohon durian besar pinggir jalan?" sambil bengong aku mengangguk pohon yang kulihat layu ketika malam itu. Jadi semalam aku bertemu dengan orang yang sebenarnya sudah meninggal, pantas saja sepanjang jalan dia menunduk, dan bukankah dipertigaan dia pamit kearah yang berlainan, arah itu kan ... yah arah pemakaman umum, bulu kudukku merinding. Tapi paling tidak dia telah menyampaikan nasihat berharga bahwa aku harus mawas diri dalam pergaulan, yah aku harus mengambil sisi positif dari kejadian semalam.

Cerita ini dialami oleh temanku E dan kutulis kembali di blogku. See u....


Berkuda di akhir pekan

Kamis, 09 Juni 2011

Seharusnya kamu tak menyuruhku untuk menelponnya

Sore itu suara handphoneku berbunyi, sebuah pesan masuk di handphoneku, isinya dari nomer yang tidak aku kenal “Pi.. bisa tolong telponin seseorang gak? kalo bisa nanti aku isikan pulsa..” aku balas bertanya “ini siapa...?”. Ternyata SMS itu dari seorang teman kampusku dulu, dia bilang dia sedang kangen banget dengan seorang cowok, dan aku disuruhnya untuk menghubungi cowok itu dan bilang agar dia menelponnya atau mengiriminya SMS. Temanku merasa cowoknya sudah dingin dan enggan untuk menghubunginya lagi, hatinya sedang galau dan tak menentu. Jujur aku enggan untuk menghubungi nomor telpon yang diberikan temanku, pertama aku gak kenal dengan cowok itu, dan kedua bagaimana kalau cowok itu berbalik suka ke aku dan terus menghubungiku, bukannya ke PD an tapi apapun bisa saja terjadikan? Tapi aku merasakan apa yang temanku rasakan, aku pernah berada di posisi seperti dia, dan waktu itupun aku melakukan hal yang sama menyuruh salah satu temanku untuk menghubungi pacarku. Akhirnya aku terpaksa menghubungi nomor itu demi temanku.

Ketika ku telpon “ini siapa?... “ suara cowok diseberang sana bertanya, lalu kuperkenalkan diriku dan mengatakan tujuanku menelponnya, dia sedang berada di kolam renang saat itu. Dia acuh tak acuh ketika membicarakan tentang temanku, dia malah fokus mencari tau tentang aku. Benar dugaanku sepanjang hari dia menghubungiku lewat SMS, dan sepanjang hari temanku bertanya kenapa cowoknya belum juga menghubungi dia. Aku jadi pusing, gak mungkin aku bilang cowokmu lagi SMS in aku, akhirnya dengan sedikit memaksa ku suruh dia menghubungi temanku, dia menyanggupinya dengan barter alamat facebook ku.  Sebenernya siapa peduli dengan mereka kalau bukan karena temanku, lagipula aku jadi penasaran cowok seperti apa yang disukai temanku, temanku cantik. Seganteng apa sih dia...

Malamnya cowok itu SMS minta aku confirm pertemanan di facebook, dan ketika kubuka laptopku dan login, ada sebuah nama yang menunggu untuk aku confirm, oh jadi ini cowok yang bikin  temanku tergila-gila, tapi apa benar ini? Ku cari-cari foto dialbumnya tetap sama tidak jauh beda dengan foto profilnya, tapi kenapa temanku suka dia, dia bukan cowok ganteng yang kubayangkan. Dan anehnya tidak ada nama temanku sebagai teman bersama. Ketika kutanyakan pada temanku ternyata saat itu juga cowoknya telah menghapusnya dari pertemanan. Cowok itu malah gencar mendekatiku.

Aku cuma mau bilang sama temanku, kamu cantik dia gak pantes buat kamu, kamu terlalu cantik buat dia. Cinta memang soal hati, tapi hatimu yang tulus gak layak buat hatinya. Aku baru sehari mengenal dia tapi aku sudah tau lelaki seperti apa dia. Malam itu juga aku hapus dia dari daftar pertemanan di facebookku.

Kamis, 02 Juni 2011

Bening Hati

Hati yang sakit, atau bahkan mati, disebabkan oleh noktah-noktah dosa yang bertambah dari waktu ke waktu karena amal perbuatan yang kurang terpelihara, sehingga menjadikannya hitam legam dan berkarat. Akan tetapi bagaimanapin kondisi hati kita saat ini, tak tertutup peluang untuk sembuh. Salah satu “virus” perusak hati adalah tidak pandainya kita menahan pandangan. Barang siapa yang ketika didunia ini tidak pandai menahan pandangan, gemar melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah, maka jangan terlalu berharap memiliki hati yang bersih. Umar bin Khathab pernah berkata “Lebih baik aku berjalan dibelakang singa daripada berjalan dibelakang wanita”. Sebenarnya bukan hanya mengumbar pandangan terhadap lawan jenis, melainkan juga terhadap aneka aksesoris duniawi. Hatinya lebih bergejolak terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya daripada menikmati apa-apa yang dimilikinya. Oleh sebab itu, kunci bagi orang yang ingin memiliki hati yang bening adalah tundukkan pandangan! karena berawalnya maksiat itu tiada lain dari pandangan.

Ketika melihat perkara duniawi, janganlah sekali-kali melihat keatas. Akan capek kita jadinya karena rezeki yang telah menjadi hak kita tidak akan kemana-mana. Tengoklah orang yang lebih fakir dan lebih menderita daripada kita. Lihatlah orang yang jauh lebih sederhana hidupnya. Semakin sering kita melihat kebawah, subhanallah, hati ini akan semakin dipenuhi oleh rasa syukur, dibanding dengan orang yang sering menengadah keatas. Kalaupun kita akan melihat keatas, tancapkan kepada Dzat Penguasa alam semesta, tidakkah engkau tatap langit yang biru dengan awan berarak seputih kapas? Atau, engkau turuni lembah, sehingga akan kau dapatkan air yang bening. Atau, engkau bangun di malam hari, kau saksikan bintang gemintang bertaburan dilangit biru dan rembulan yang tidak pernah bosan kita menatapnya. Allah maha kaya dan tidak akan pernah berkurang kekayaanNya walaupun selalu kita minta sampai akhir hayat.

Berbahagialah orang yang senang melihat kebaikan orang lain, kemana saja mata memandang yang tampak hanyalah bebungaan yang indah mekar dan harum. Sebaliknya orang yang gemar melihat aib dan kejelekan orang lain pikirannya hanya diselimuti dengan aneka keburukan, sementara hatinya hanya dikepung dengan prasangka-prasangka buruk. Karenanya, kemanapun matanya melihat yang tampak adalah ular, duri dan sebagainya. Dimanapun ia berada senantiasa tidak akan pernah dapat menikmati indahnya hidup.

Betapa indah sekiranya kita memiliki hati yang senantiasa tertata, terpelihara, dan terawat dengan sebaik-baiknya. Pemiliknya akan senantiasa merasakan lapang, tenang, tentram, sejuk, dalam menikmati indahnya hidup di dunia ini. Semua ini akan tercermin dalam setiap gerak-gerik, perilaku, tutur kata, sunggingan senyum, tatapan mata, riak air muka, bahkan dalam diamnya sekalipun. Orang yang hatinya tertata dengan baik takkan pernah sedikitpun merasa gelisah, bermuram durja, ataupun gundah gulana. Kemanapun pergi dan dimanapun berada, ia senntiasa mampu mengendalikan hatinya. Dirinya selalu berada dalam kondisi damai dan mendamaikan; tenang dan menenangkan; tentram dan menentramkan. Hatinya bagai embun yang menggelayut di dedaunan dipagi hari, jernih bersinar, sejuk, dan menyegarkan. Hatinya tertambat bukan pada benda-benda yang fana melainkan selalu ingat dan merindukan Dzat yang Maha Memberi ketentraman: Allah Azza wa Jalla.