Minggu, 11 September 2011

Ketika Cinta Sulit Dimengerti

Huh! Laki-laki memang tak pernah bisa mengerti apa maunya perempuan! Tak terkecuali Dia, lelaki yang hampir dua tahun ini menjalin kasih denganku. Bayangkan saja, sudah hampir dua tahun lamanya kami bersama, dia tetap tidak mengerti isyarat-isyarat yang sengaja aku berikan padanya. Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Itu kan berarti hampir 24 bulan alias 1.230 hari.

Contohnya saja sore ini, di mana sudah seharian aku cemas menunggu kabar darinya. Sudah berpuluh kali aku meneleponnya tapi ponselnya tak kunjung aktif. Beberapa SMS juga sudah kulayangkan, dari mulai yang romantis sampai yang isinya hampir sadis, tapi tak satupun dibalas. Terang saja aku panik dan cemas, pasalnya Dia sudah berjanji padaku kalau hari ini ia akan menemaniku nonton, tapi sampai sekarang kok tidak ada kabar sama sekali? Pikiranku sudah dipenuhi berbagai macam kemungkinan. Apa Dia masih tidur karena pusing akibat kehujanan waktu pulang dari rumahku kemarin? Atau, apa ponsel  Dia  kecopetan? Atau, jangan-jangan Dia lagi selingkuh sampai-sampai ponselnya sengaja dimatikan? Atau... ada yang tidak beres? Hii.., ngeri sendiri rasanya aku membayangkan yang tidak-tidak. 

Tiba-tiba saja, sekitar pukul 17.20, teleponku tersambung. Aku menanti dengan deg-degan. Begitu suara Dia yang berat terdengar di ujung sana, aku langsung membombardirnya dengan sejuta pertanyaan.

“Kamu di mana, sih? Adek tuh udah neleponin kamu seharian tapi enggak nyambung-nyambung. Adek kirim SMS kok enggak dibales-bales? Kamu tau enggak, Adek cemas banget?! Adek sampe enggak bisa ngapa-ngapain seharian gara-gara nungguin Kamu. Kan katanya Kamu mau nemenin Adek nonton, gimana sih?!”

Aku terdiam, mengambil napas. Sesaat, tak terdengar respon dari ujung sana. Malahan, tiba-tiba saja aku mendengar suara Dia yang sedang asyik ngobrol dengan seorang laki-laki.

“...Itu velg-nya udah rapi, kan?”
“Oh, tenang aja, Mas.”

Aku bengong. Aku panggil-panggil namanya.
“Iya, Dek?” suara Dia kembali terdengar.
“Kamu lagi ngapain, sih?”
“Bentar, bentar, Dek, Aku lagi di bengkel, nih, ganti velg. Bentar ya....”

Dan Dia pun kembali ngobrol dengan tukang velg itu. Dan aku, pacarnya selama dua tahun ini, dicuekin begitu aja!
“Glek! Berarti dari tadi aku ngomong panjang lebar sama sekali enggak didengerin sama Dia? Arrrgggghhhh!,” makiku dalam hati.

Setelah beberapa lama, suara Dia kembali terdengar. “Kenapa, Dek?”
Aku sungguh heran dengan sikap santai yang jelas-jelas tercermin di dalam suara Dia.
“Dari tadi Adek telepon kok enggak nyambung-nyambung?,” serangku.

“Duh, maaf, Dek, tadi HP nya ketinggalan. Ini juga baru aja disusulin sama Raffi,” katanya, masih dengan ketenangan tingkat tinggi yang membuatku semakin kesal.

“Terus, kenapa SMS Adek enggak dibalas?”

“Maaf, Dek, Aku lupa isi pulsa,” katanya.

“Apa????? Lupa isi pulsa? Enggak tau apa orang cemas setengah mati dari tadi?,” batinku.

“Kenapa enggak minjem HP Raffi untuk SMS? Atau, Kamu kan bisa cari wartel atau telepon umum untuk ngabarin Adek?,” tanyaku

Dia tergelak, “Sorry, Dek, enggak kepikiran!”

Aku melengos kesal. “Kamu lupa ya kalo hari ini Kamu janji mau nemenin Adek nonton?,” rajukku.

“Maaf, Dek, Aku bukannya lupa. Tapi tiba-tiba mobilnya ngadat, makanya Aku   ke bengkel.”

“Lho, tadi katanya ganti velg, sekarang bilangnya mobilnya ngadat. Yang mana yang bener, sih?,” suaraku semakin meninggi.

“Ya tadi mesinnya ngadat. Terus, karena udah di bengkel, ya Aku sekalian ganti velg aja.”

Aku langsung cemberut.

“Nontonnya besok aja, ya, Dek, kan bisa sekalian nomat!,” bujuknya.

“Tapi besok kan Adek ke studio. Mana bisa enak-enakan nomat.”

“Ya udah, begitu kamu selese, Aku jemput deh ke Studio. Terus, dari sana kita nonton, oke?”

Dan begitulah, acara kencan kami pun gagal cuma gara-gara Dia ke bengkel demi memperbaiki mobilnya yang ngadat dan sekalian mengganti velg-nya.

Kadang-kadang aku merasa aneh juga. Masa sih aku harus cemburu dengan kecintaan Dia pada mobilnya atau pada kesenangannya naik gunung. Tapi, wajar kan kalau aku cemburu, aku ini kan pacarnya? Pacar yang hampir dua tahun ini menemaninya, berbagi suka dan duka bersama. Pacar yang punya perasaan dan seharusnya lebih membutuhkan perhatian nya  ketimbang mobil dan hobi naik gunungnya. Ya, laki-laki memang sulit mengerti apa maunya perempuan!

Keesokan harinya, aku berangkat ke studio dengan ceria. Malahan aku sengaja berdandan karena aku tahu, setelah itu aku akan nonton bersama Dia. Tapi ternyata, lagi-lagi aku kecewa. Mobil Dia tak terlihat di didepan Studio! Aku pun segera menelepon Dia.

“Di mana?”

“Di rumah,” jawabnya cuek.

Jleb!! Rasanya ada sebilah pisau yang menusuk dadaku saat itu juga. Sementara aku sudah berdandan habis dan menanti-nanti acara kencan dengannya, Dia malah kelupaan dengan janjinya menjemputku di Studio!

“Kamu tuh udah mulai pikun atau udah enggak sayang lagi, sih, sama Adek?,” semprotku langsung begitu aku duduk di jok depan mobilnya, satu jam kemudian. Terik siang dan rasa kesal telah membuat dandananku berantakan. Tapi aku sudah tak peduli. Niat untuk kencan dengannya sudah meluap pergi entah ke mana.

“Maaf, Dek. Aku tadi ketiduran. Kamu sih enggak bangunin Aku,” katanya ngeles.
“Bangunin gimana? Aku kan lagi siaran !! Mana bisa seenaknya nelepon Kamu?”

Dia tertawa kecil, “Oh iya, ya? Maaf, deh”

Aku semakin sebal. “Jadi sekarang Adek yang salah?!”

dia memandangku sambil menahan tawa. “Kamu kalau marah semakin cantik, deh!,” godanya.

“Iiih, udah tau orang ngambek, masih aja dibecandain!,” pikirku kesal. Aku hanya cemberut, tidak merespon.

“Ya udah, kita nonton di mana sekarang?,” tanyanya.

“Enggak usah!,” bentakku, “Adek udah enggak mood nonton sama Kamu!”

“Mana bisa?,” kata Dia, “Bisa-bisa Aku diputusin sama kamu karena enggak nepatin janji ngajakin kamu nomat hari ini.”

Aku tak menjawab. Malas. Aku hanya bisa memperhatikan jalanan sementara mobilnya terus melaju menuju 21.

“Udah nyampe, Dek,” kata Dia sambil mematikan mesin. Ia menarik bahuku hingga aku menghadap ke arahnya tepat sebelum aku sempat menghapus air mata yang tak bisa lagi aku bendung di pelupuk mataku. Sempat kulihat ekspresi kagetnya melihat air mataku. Namun aku tak peduli. Aku segera memalingkan wajah, berpura-pura tegar.

“Kamu nangis, Dek?” Dia kembali memutar tubuhku.

“Enggak!,” aku kembali berbalik.
Dia memutar tubuhku dengan lembut dan mematri bahuku dengan kedua lengan kekarnya, agar aku tak dapat menghindar lagi. “Coba Aku liat. Kok Adek Ku yang cantik nangis, sih? Dandanannya luntur, tuh!,” candanya.

Bukannya tertawa, aku malah menangis semakin menjadi. “Kamu tuh beneran udah enggak sayang, ya, sama Adek?”

Dia nampak kaget, namun terus berusaha tenang, “Kok Adek ngomongnya gitu sih?”

“Abis Kamu tuh enggak pernah ngertiin Adek. Adek tuh rasanya udah enggak pernah diperhatiin lagi sama Kamu. Kamu udah enggak nganggap Adek istimewa lagi. Enggak kayak dulu pas awal kita pacaran, Kamu sekarang suka lupa sama janji Kamu ke Adek. Kamu lebih milih ke bengkel atau naik gunung daripada berduaan dengan Adek! Kamu tuh lupa, ya, minggu lalu tuh kita enggak ketemuan karena Kamu naik gunung sama temen-temen Kamu?! Makanya kemarin Adek ngajakin Kamu nonton, biar kita bisa ketemuan. Eh, Kamu malah lebih milih ke bengkel daripada ketemu sama Adek! Adek sebel! Kamu udah enggak sayang lagi sama Adek!,” cerocosku panjang lebar.

Dia memperhatikanku dengan ekspresi shock. Mungkin Dia tak menyangka kalau masalahnya ternyata serumit itu. Tapi, biarlah, daripada aku memendam sendiri semua kekesalanku, lebih baik aku tumpahkan saja semuanya.

Beberapa saat lamanya, Dia tidak merespon. Dia mengusap air mata di pipiku dengan lembut dan tersenyum.

“Adek enggak boleh bilang kayak gitu. Aku tuh sayang banget sama Adek! Aku  mau ikut temen-temenku naik gunung minggu lalu karena Aku mau ngasihin ini sama kamu,” katanya sambil mengambil sebuket bunga edelweiss di jok belakang mobil. Aku tersentak kaget.

“Adek lupa, ya, kalau Adek pernah nitip bunga edelweiss kalau Aku  naik gunung? Kan Adek sendiri yang bilang, kalau bunga edelweiss ini melambangkan cinta yang abadi. Soal kemarin, Aku juga sebenernya sengaja menunda waktu ketemuan kita sampai hari ini biar bisa ngasihin bunga edelweiss ini ke Adek tepat di hari jadi kita yang kedua tahun. Aku juga sengaja ngebetulin mobil karena Aku enggak mau waktu Aku jalan sama Adek, mobil ini ngadat di tengah jalan. Aku mau hari ini jadi hari yang istimewa, karena hari ini genap dua tahun sudah Adek jadi pacarku, jadi sahabatku yang paling baik, yang paling mengerti Aku.”

Aku tercenung. Jadi, hari ini...? Ya Tuhan, saking kesalnya akan tingkah laku Dia, aku sampai lupa kalau hari ini adalah hari jadi kami yang kedua tahun! Hari ke-1.230 dalam hubungan kami yang begitu berharga ini. Perasaanku campur aduk, rasanya. Aku tak bisa berkata-kata. Yang bisa kulakukan hanyalah menangis.

“Yah, Dek, kok malah nangis lagi?,” tanyanya panik. “Adek enggak suka, ya, sama bunga edelweiss-nya?”

Aku tertawa geli. Ternyata, setelah dua tahun kebersamaan kami, Dia masih belum bisa mengerti apa mauku. Dia masih kurang memahami isyarat-isyarat yang sengaja kuberikan padanya. Tapi, tak apalah. Selama Dia menyayangiku, aku toh akan tetap mencoba memahaminya dan membuat ia memahami diriku.






Senin, 15 Agustus 2011

Cinta Antara Kita

Radith adalah temanku. Sekarang dia ada dirumahku sedang menunggu adikku. Sebenarnya aku setengah hati duduk diruang tamu menemani dia sebelum adikku datang, bukannya apa tiba-tiba badanku berdesir ketika Radith menatapku begitu dalam. Tatapan yang tidak biasa.
Tiba tiba Radith berkata "Ada yang ingin kukatakan, tapi...."
"Tentang apa ?" tanyaku
"Tentang rindu..."
Aku masih berusaha tenang mendengarkan kelanjutan ucapan Radith, namun saat itu pintu terbuka dan sesosok adikku yang basah kuyup muncul "Udah lama nunggu ya" kata adikku, dan aku beranjak pergi meninggalkan mereka berdua, sambil meninggalkan ucapan Radith yang terakhir untukku.

Sebenarnya Aku, Radith dan pacarku Nana bertiga awalnya bersahabat, tetapi semenjak aku jadian dengan  Nana hubungan persahabatan kami menjadi renggang. Apalagi pacarku Nana cemburuan. Dulu Radith pernah bertanya kenapa aku menerima Nana, "Apa keistimewaan Nana buat kamu?"  "Yah dia baik dith..."  "Hanya itu?" lalu ku jawab lagi "Dia mampu mengungkapkan perasaannya dengan jujur". Semenjak itulah kami tidak bersama lagi. Tetapi setelah beberapa waktu, tiba-tiba saja Radith mulai hadir kembali dirumahku. Bukan untuk menjumpaiku. Dia hadir untuk adikku.

Sore ini aku pulang dari studio, awan mendung menggelayut tanda akan turun hujan. Aku gusar dipersimpangan jalan. Tiba-tiba Radith melintas dihadapanku dengan motornya, dia menawarkan untuk mengantarkanku pulang, agar aku tak kehujanan. Akhirnya kami pulang bersama. Dan hanya karena sebuah kebetulan yang tidak direncanakan samasekali, Nana akhirnya illfeel padaku. Lagi-lagi soal Radith yang memboncengku yang jadi bahan pembicaraan kita. Sampai akhirnya Nana berkata "Aku minta maaf kayaknya hubungan kita harus berakhir. Kamu tidak cinta aku sepenuhnya, masih ada Radith dalam pikiranmu" Terhujam didalam dadaku mendengar itu, sampai aku tak sadar menitikkan air mata "Aku sayang kamu Na, apa kamu sangsi?" "Kamu sayang aku, bukan cinta aku. Itu beda. Tapi its ok, waktu akan memulihkan semuanya. Lagipula rumah kita berjauhan. Pasti akan lebih mudah untuk kita saling melupakan." "Na, sungguh kita harus berpisah?" Nana tidak menjawab, tetapi ketika kami akhirnya pulang sendiri-sendiri, aku tau hubungan itu telah berakhir.

Aku sedang didepan laptop ketika sebuah ketukan berbunyi di pintu rumahku. Ketika kubuka ternyata sesosok Radith dengan sebuket bunga ditangannya. Aku bergetar.
"Sudah lama ya kita gak ketemu, kamu agak kurusan ya?" Aku mengangguk pelan. Tentu saja. Mata cekungku tidak bisa membohongi siapapun. Sudah hampir sebulan ini aku putus dari Nana. Tapi masih ada tangis untuk cinta itu.
"Kamu masih ingat waktu kukatakan tentang rindu?" desiran halus dalam dadaku berubah menjadi deburan dhasyat. "Ya aku ingat"
"Rindu itu buat kamu" aku terperangah "Benarkah?" 
"Iya. Sulit sekali mengungkapkannya karena aku tidak bisa mengucapkan kata cinta buat kamu. Tapi akhirnya semuanya bisa kuredam, bisa kulupakan. Karena sekarang ada adik kamu yang mulai mencintaiku. Kuharap dia bisa tumbuh dewasa bersama dengan cinta yang kutabur untuknya."
"jadi..."
"Aku baru mau meresmikan hubungan kami. Makanya aku bawakan dia seikat bunga sebagai tanda cinta, aku gak mau keburu ada orang lain yang mendapatkan cinta adikmu seperti yang terjadi padamu. Aku belajar  berani untuk mengungkapkan perasaanku."

Tubuhku lunglai. Bunga itu bukan untukku, Cinta Radith pun bukan untukku. Malam ini ada satu hal yang aku tau pasti. Akan ada air mata lagi yang menemani tidurku..

(cerita ini fiktif apabila ada nama atau cerita yang mirip, itu memang disengaja hehehe)



Jumat, 05 Agustus 2011

LOVE

Malam ini pacarku ngajak ketemuan buat sama-sama nonton konser GIGI, padahal di jam yang sama aku ada janji dengan Riki untuk menengok temannya di rumah sakit karena tabrakan. Sebenarnya aku dah coba batalkan janji dengan pacarku tapi dia tetap gak mau mengerti. Dan parahnya lagi aku juga tidak bisa membatalkan janji dengan Riki karena aku bertaruh dengan adiknya Riki. Aku sanggup menemani Riki yang super cool dan pendiam selama sebulan, dengan imbalan aku bisa menukar tempat kost ku agar dekat dengan kampusku.

Akhirnya aku  berangkat dengan Riki menggunakan motor menuju rumah sakit, tapi pikiranku terus memikirkan pacarku yang sedang menungguku untuk nonton konser bareng. Akhirnya diperjalanan aku menyuruhnya mengantarkan aku ke sebuah tempat dulu, dan tanpa banyak pertanyaan lagi dia langsung mengantarkan aku ketujuan yang aku sebutkan.
Sampai ditujuan aku menyuruhnya menungguku "Tunggu disini ya Rik" dan aku bergegas masuk kearah stadium. Disana ada ratusan bahkan ribuan orang yang sedang siap-siap buat nonton konser. Aku celingukan mencari pacarku dan akhirnya dari jarak belasan meter aku lihat dia sedang duduk di sebuah warung depan jalan, aku bergegas menghampiri dia. "Akhirnya kamu dateng juga, kukira kamu gak akan dateng", lalu aku bilang  "Sebenarnya aku datang kesini cuma mau bilang kalau aku gak bisa nemani kamu buat nonton", dengan dalih sahabat dekatku sedang dirawat karena kecelakaan. "Udah nengoknya nanti saja, aku dah beli 2 tiket nih." Aku terus mendesak, "Aku harus menengoknya kalau tidak....  " "Kalau tidak nanti keburu meninggal?" begitu potongnya, lalu dia bilang lagi "Meninggal tuh takdir, kamu gak datang pas dia meninggal juga takdir". Aduh percuma saja aku bohong kalau yang sakit sahabatku, dia tetap saja tidak peduli. Kemudian pacarku bilang "Udah masuk yuk dah telat 5 menit" sambil menarik tanganku, dan aku tak bisa lagi berbuat apa-apa, dan bersamaan itu pula hujan gerimis turun. Yang kupikirkan Riki, aku berharap dia segera pulang karena turun hujan.

Dua jam kemudian konser telah usai, kami berniat untuk pulang bersama. Sambil dia menggandengku kami berjalan menuju tempat parkiran, tiba-tiba ada seorang cewek memanggil nama pacarku. Cewek itu cantik banget, mirip indo gitu. Cewek itu tanya "Kamu masih inget aku gak?" dengan cepat pacarku jawab "Iya dong masa lupa sama kamu.." Cewek itu bilang kalau dia beberapa kali ada hubungi ponsel pacarku untuk nonton bareng dan bla bla bla... aku yang disampingnya dicuekin. Tiba-tiba cewek itu tanya "Kamu kesini sama siapa?" dan pacarku bilang "Sendiri.." Lalu aku melirik kewajah pacarku berharap dia meralat ucapannya. Dan cewek itu bertanya lagi "Ini siapa?" sambil menunjukku. "Oh ini temanku" jawab pacarku. Aku gak nyangka dia bilang begitu didepanku, tanpa basa basi lagi aku pergi meninggalkan mereka. Hancur perasaanku, sambil menahan tangis aku berjalan melintasi koridor, disudut jalan kulihat Riki duduk terpaku. Oh Tuhan dia masih menungguku selama dua jam lebih, dia masih menunggu ditempat yang sama ketika kutinggalkan. Lalu kutanya kenapa dia masih disini lalu dia jawab "Kamu kan perginya sama aku, dan aku harus pulangin kamu  biar ortumu gak khawatir". Lalu ku peluk dia, tapi buru-buru kulepaskan karena bajunya sembab karena basah, lalu kutanya "Kok bajumu basah?" 
"Waktu hujan aku cari-cari kamu aku khawatir kamu kenapa-kenapa dan kehujanan" dengan mata yang sungguh-sungguh dia mengatakan itu, lalu kupeluk dia lagi tak peduli bajunya basah, dalam hatiku berkata aku akan belajar mencintai kamu bukan sebagai taruhan lagi Riki.

Rabu, 29 Juni 2011

Mandikan Aku Bunda

Dewi adalah sahabatku, seorang mahasiswi yang berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not to be the best?,” begitu ucapan yang kerap kali terdengar dari mulutnya, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.
Ketika kampus mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht-Belanda, Dewi termasuk salah satunya.
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Dewi mendapat pendamping hidup yang “selevel”, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Tak lama berselang lahirlah Bayu, buah cinta mereka, anak pertamanya tersebut lahir ketika Dewi diangkat manjadi staf diplomat, bertepatan dengan suaminya meraih PhD. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan mereka.
Ketika Bayu, berusia 6 bulan, kesibukan Dewi semakin menggila. Bak seekor burung garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Sebagai seorang sahabat setulusnya saya pernah bertanya padanya, “Tidakkah si Bayu masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal oleh ibundanya?” Dengan sigap Dewi menjawab, “Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya dengan sempurna”. “Everything is OK! Don’t worry. Everything is under control kok!” begitulah selalu ucapannya, penuh percaya diri.
Ucapannya itu memang betul-betul ia buktikan. Perawatan anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter termahal. Dewi tinggal mengontrol jadwal Bayu lewat telepon. Pada akhirnya Bayu tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas mandiri dan mudah mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang betapa hebatnya ibu-bapaknya. Tentang gelar Phd dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang berlimpah. “Contohlah ayah-bundamu Bayu, kalau Bayu besar nanti jadilah seperti Bunda”. Begitu selalu nenek Bayu, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Bayu berusia 5 tahun, neneknya menyampaikan kepada Dewi kalau Bayu minta seorang adik untuk bisa menjadi teman bermainnya di rumah apabila ia merasa kesepian.
Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Dewi dan suaminya kembali meminta pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Bayu. Lagi-lagi bocah kecil inipun mau ”memahami” orangtuanya.
Dengan bangga Dewi mengatakan bahwa kamu memang anak hebat, buktinya, kata Dewi, kamu tak lagi merengek minta adik. Bayu, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek dan sangat mandiri. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Bahkan, tutur Dewi pada saya, Bayu selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Dewi sering memanggilnya malaikat kecilku. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, namun Bayu tetap tumbuh dengan penuh cinta dari orang tuanya. Diam-diam, saya jadi sangat iri pada keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Dewi berangkat ke kantor, entah mengapa Bayu menolak dimandikan oleh baby sitternya. Bayu ingin pagi ini dimandikan oleh Bundanya,”Bunda aku ingin mandi sama bunda…please…please bunda”, pinta Bayu dengan mengiba-iba penuh harap.
Karuan saja Dewi, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan merasa gusar dengan permintaan anaknya. Ia dengan tegas menolak permintaan Bayu, sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Bayu agar mau mandi dengan baby sitternya. Lagi-lagi, Bayu dengan penuh pengertian mau menurutinya, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini terus berulang sampai hampir sepekan. “Bunda, mandikan aku!” Ayo dong bunda mandikan aku sekali ini saja…?” kian lama suara Bayu semakin penuh tekanan. Tapi toh, Dewi dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Bayu sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Bayu bisa ditinggal juga dan mandi bersama Mbanya.
Sampai suatu sore, Dewi dikejutkan oleh telpon dari sang baby sitter, “Bu, hari ini Bayu panas tinggi dan kejang-kejang. Sekarang sedang di periksa di ruang emergency”.
Ketika diberitahu soal Bayu, Dewi sedang meresmikan kantor barunya di Medan. Setelah tiba di Jakarta, Dewi langsung ngebut ke UGD. Tapi sayang…terlambat sudah…Tuhan sudah punya rencana lain. Bayu, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh Tuhannya. Terlihat Dewi mengalami shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah untuk memandikan putranya, setelah bebarapa hari lalu Bayu mulai menuntut ia untuk memandikannya, Dewi pernah berjanji pada anaknya untuk suatu saat memandikannya sendiri jika ia tidak sedang ada urusan yang sangat penting. Dan siang itu, janji Dewi akhirnya terpenuhi juga, meskipun setelah tubuh si kecil terbujur kaku.
Ditengah para tetangga yang sedang melayat, terdengar suara Dewi dengan nada yang bergetar berkata “Ini Bunda Nak….hari ini Bunda mandikan Bayu ya…sayang….! akhirnya Bunda penuhi juga janji Bunda ya Nak..”
Lalu segera saja satu demi satu orang-orang yang melayat dan berada di dekatnya tersebut berusaha untuk menyingkir dari sampingnya, sambil tak kuasa untuk menahan tangis mereka.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, para pengiring jenazah masih berdiri mematung di sisi pusara sang Malaikat Kecil.
Berkali-kali Dewi, sahabatku yang tegar itu, berkata kepada rekan-rekan disekitanya, “Inikan sudah takdir, ya kan..!” Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya di panggil, ya dia pergi juga, iya kan?”
Saya yang saat itu tepat berada di sampingnya diam saja. Seolah-olah Dewi tak merasa berduka dengan kepergian anaknya dan sepertinya ia juga tidak perlu hiburan dari orang lain.
Sementara di sebelah kanannya, suaminya berdiri mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pucat pasi dengan bibir bergetar tak kuasa menahan air mata yang mulai meleleh membasahi pipinya.
Sambil menatap pusara anaknya, terdengar lagi suara Dewi berujar, “Inilah konsekuensi sebuah pilihan!” lanjut Dewi, tetap mencoba untuk tegar dan kuat.
Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja yang menusuk hidung hingga ke tulang sumsum. Tak lama setelah itu tanpa diduga-duga tiba-tiba saja Dewi jatuh berlutut, lalu membantingkan dirinya ke tanah tepat diatas pusara anaknya sambil berteriak-teriak histeris. “Bayu maafkan Bunda ya sayaang..!!, ampuni bundamu ya nak…? serunya berulang-ulang sambil membenturkan kepalanya ketanah, dan segera terdengar tangis yang meledak-ledak dengan penuh berurai air mata membanjiri tanah pusara putra tercintanya yang kini telah pergi untuk selama-lamanya.
Sepanjang saya mengenalnya, rasanya baru kali ini saya menyaksikan Dewi menangis dengan histeris seperti ini.
Lalu terdengar lagi Dewi berteriak-teriak histeris “Bangunlah Bayu sayaaangku….bangun Bayu cintaku, ayo bangun nak…..?!?” pintanya berulang-ulang, “Bunda mau mandikan kamu sayang….tolong beri kesempatan Bunda sekali saja Nak….sekali ini saja, Bayu..anakku…?” Dewi merintih mengiba-iba sambil kembali membenturkan kepalanya berkali-kali ke tanah lalu ia peluki dan ciumi pusara anaknya bak orang yang sudah hilang ingatan. Air matanya mengalir semakin deras membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Bayu.
Senja semakin senyap, aroma bunga kamboja semakin tercium kuat menusuk hidung membuat seluruh bulu kuduk kami berdiri menyaksikan peristiwa yang menyayat hati ini…tapi apa hendak di kata, nasi sudah menjadi bubur, sesal kemudian tak berguna. Bayu tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya dimandikan oleh orang tuanya, karena mereka merasa bahwa banyak hal yang jauh lebih penting daripada hanya sekedar memandikan seorang anak.
(Kisah nyata, dari rekan blogger)

Selasa, 28 Juni 2011

Aku dan Malaikat putih

Tidak ada seorangpun yang menginginkan kekurangan di dalam dirinya, meski kesempurnaan juga mustahil dimiliki seseorang. Temanku bukan cowok kasar apalagi tempramental. Bahkan sebaliknya, dia punya senyum yang setiap orang berhak mendapatkannya. Dia tidak segan mengulurkan bantuan untuk siapapun yang membutuhkannya. Tapi keberadaannya sering tidak di harapkan dilingkungannnya. Lalu apa yang kurang didalam dirinya? Pigmen, itu jawabannya. Dia lahir sebagai manusia albino, rambut dan kulitnya memutih tak wajar. Keadaan seperti itu membuatnya tak bisa pilih pilih teman, terlebih lagi pacar. Dia pernah menitikan air mata ketika menyaksikan video klip lagu Chrisye "Seperti Yang Kau Minta" yang bercerita tentang seorang cowok albino mendambakan seorang cewek yang diidamkannya. Dia tau pasti, apa akhir dari yang didambakannya, Luka!.

Suatu ketika dia mencari alamat teman di sebuah perkampungan, seperti biasa dia menjadi pusat perhatian orang. Anak-anak langsung mengerumuni dia sambil bernyanyi "Bule masuk kampung...Bule masuk kampung...!" "ini bule apa habis nyebur ke air mendidih sih?, kok bulu mata ikut memutih?". Dia berusaha tersenyum meski dibalik dadanya dia merasakan luka yang lumayan sakit.

Aku adalah teman satu kelasnya, kadang aku merasa kesal dengan sikap teman-temanku yang memandang sebelah mata terhadapnya. Apa mereka berfikir dia tidak punya hati, ketika mereka berkata-kata pedas terhadapnya. Apakah dia yang memilih menjadi seperti ini? bahkan dia harus kesulitan melihat tulisan dipapan tulis karena keterbatasan matanya. aah...andai waktu itu aku bisa membelikannya kacamata untuknya, tapi aku hanya mampu menukar posisi tempat dudukku untuknya. Agar dia bisa duduk lebih depan dan bisa melihat tulisan dengan sedikit jelas.

Didalam hidupku mengenal seorang albino adalah hal yang biasa. Jauh ketika aku masih kecil aku sudah mengenal seorang anak albino. Bahkan ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar aku sudah memahami karakter, kekurangan, dan perasaan menjadi seorang seperti dia. Teman kecilku selalu di pingit oleh kedua orangtuanya hanya karena tidak mau anaknya di olok-olok orang. Aku pernah membawanya pergi dan mengajaknya main kerumahku. Dia kuberi rangginang, sejenis makanan terbuat dari ketan hitam, dia      tanya ini makanan apa, aku jawab ini tai tikus karena bentuknya memang mirip. Kupaksa dia makan walau dia berontak tak mau, ketika dia kunyah rasanya enak dan dia tersenyum..... sampai dirumah dia cerita sama mamahnya kalo dirumahku dia dikasi kotoran tikus heheheh....

Andai saja didunia ini manusia tidak melihat cantik, ganteng, warna kulit. Pasti persahabatan itu indah. Ketika ku dengar dari mulutnya, dia tidak pernah mengaharap semua kebaikannya dibalas, tetapi begitu kejamkah perlakuan makhluk di dunia terhadapnya. Ketika dia habis mengeluarkan uang SPP nya demi seorang teman yang sakit untuk berobat, dan diperjalanan pulang tiba-tiba seorang pengemis menyebrang. Dia telah berusaha menghindar, dan pengemis itupun selamat, tapi motornya terpuruk ke bahu jalan dan menimpa palang besi. Pengimis yang tadi diselamatkannya datang menghampirinya, ternyata datang bukan untuk menolongnya tapi untuk mengambil dompet dan ponselnya. Dia hanya memandangi tubuhnya yang berlumuran darah tanpa bisa berbuat apa-apa. Jiwanya menangis ketika selama dua hari dirumah sakit tak ada satupun yang membesuknya, kemanakah orang-orang yang selama ini dia tolong. Aku ikut menahan tangis dan ikut merasakan luka dihatinya. Untunglah aku bukan bagian dari orang-orang yang ada diceritanya, karena sampai saat ini aku masih disampingnya untuk mendengarkan cerita-ceritanya dan mendukungnya sebagai sahabatnya.